Tumgik
zilamanzil · 3 years
Text
[UMMI]
27 Agustus 2018, ba'da isya awal...
Buya, aku, dan Ghifar sudah hampir seharian di rumah sakit membersamai Ummi yang terbaring lemah di dalam ICU dengan kesadaran yang menurun. Sepulang dari RSAL Mintohardjo, kami bertiga tidak langsung pulang. Kami bertiga takziah karena sore tadi kami mendapat kabar bahwa sepupu Buya yang dikenal dekat dengan sebutan Babah meninggal. Tiba di rumah Babah pun banyak keluarga dan kerabat yang bertanya kabar Ummi. Aku dan Ghifar duduk ditemani oleh adik-adik Buya dan sepupu-sepupu. Sementara Buya mengurus hal-hal yang berkaitan dengan jenazah Babah agar esok hari ketika Babah dimakamkan, semua urusannya sudah selesai. Memang Babah belum punya anak, sehingga Buya merasa harus mengurus jenazahnya Babah. Setelah aku lihat Buya sudah tidak terlalu sibuk mengurus siapa yang akan memandikan Babah, mengurus acara sholat jenazah Babah, dan lain-lain, aku menghampiri Buya.
"Udah Yah? Pulang yuk. Zila ga tenang. Kayaknya mau cepet-cepet sampe rumah", kataku. Sementara Ghifar sudah diam saja dan tidak semangat
"Yaudah yuk pulang", kata Buya
Akhirnya kita pulang bersama beberapa adiknya Buya karena adiknya Buya mau ke rumah nenek dan rumah nenek searah dengan rumahku. Di perjalanan pulang, "Besok pagi-pagi banget kamu ke rumah sakit temenin Ummi ya. Buya sholatin Babah dulu sama yang lain", ucap Buya kepadaku dan aku sambut dengan anggukan. Sementara ada sepupuku yang mengajukan dirinya untuk menemaniku di rumah sakit besok
Tiba di rumah pukul 9 lewat. Aku memandang rumahku malam itu seakan berbeda. Namun aku sendiri pun juga bingung dimana titik yang membuat rumahku berbeda. Aku mengetuk pintu rumah sepi itu. Ka Nadia dengan sergap membukanya. Ka Nadia sudah sedari tadi menunggu kita pulang. Ya Ka Nadia tidak bisa berlama-lama di rumah sakit karena mempunyai batita
Buya, aku, dan Ghifar pun langsung makan malam yang sudah disiapkan Ka Nadia sebelumnya.
"Gimana kabar Ummi hari ini di rumah sakit?", tanya Ka Nadia membuka topik pembicaraan makan malam
Buya, aku, dan Ghifar pun bercerita tentang hari itu.
Sementara Ka Fadhi di rumah sakit megalami...
Pukul setengah sebelas malam Ka Fadhi sedang menunggu Ummi di ruang tunggu ICU, kemudian keluarlah seorang suster dan berteriak, "Keluarga Ibu Siti Nurjanah...keluarga Ibu Siti Nurjanah...". Ka Fadhi langsung cepat menghampiri suster, "Iya saya sus"
"Pak, ibu kritis. Ayo ikut saya", ucap suster
Tanpa basa-basi, mereka berdua langsung masuk ke dalam ICU. Ketika Ka Fadhi masuk, di dalam sudah banyak suster dan dokter yang mengelilingi Ummi sambil memacu jantung Ummi.
"Pak jangan putus bantu talqin ibu ya", ucap suster
Ka Fadhi pun tak putus talqin sambil meneteskan air mata menyaksikan Ummi
"Terus pak terus pak masih ada", ucap dokter menyemangati Ka Fadhi sambil bekerja keras menyelamatkan Ummi
Ka Fadhi tidak kalah bekerja keras talqin
Hingga tiba waktunya Senin, 27 Agustus 2018/16 Dzulhijjah 1439 pukul 22.45 Allah panggil Ummi. Setelah itu juga, Ka Fadhi langsung menghubungi Bang Afif. Bang Afif baru sampai di rumah Babah setelah melakukan safari dakwahnya pun menerima telfon dari Ka Fadhi. Ka Fadhi memberi kabar ke Bang Afif bahwa Allah telah memanggil Ummi. Ka Fadhi kemudian menghubungi Cing Minah (salah satu adik Ummi) sebagai orang kedua untuk mengetahui kabar Ummi setelah Bang Afif.
Sementara Bang Afif di rumah Babah mengalami...
Bang Afif menerima telfon dari Ka Fadhi dan mengetahui kabar itu langsung menangis. Beberapa adik Buya yang masih di rumah Babah pun juga ikut menangis sambil memeluk Bang Afif dan berhasil mencuri perhatian istri Babah dan orang-orang lain yang takziah.
"Gimana ngomong ke Buya nya? Ka Fadhi belum bilang ke Buya", Tanya Bang Afif kepada beberapa adik Buya kebingungan. Akhirnya adik-adik Buya yang akan menyampaikannya ke Buya di rumah nanti. Saat itu juga Bang Afif pulang ke rumah Tebet bersama adik-adik Buya untuk menyampaikan kabar itu ke orang-orang di rumah. Namun......
Ketika kita sedang berbagi cerita sambil menyantap makan malam, Ka Nadia melihat ada notifikasi chat dari grup keluarga besar Ummi berjalan cepat
"Apa ini maksudnya Cing Minah? Innalillahi wa innailaihi rojiuun Allah sayang banget sama Ka Ana/Ummi 😭", ucap Ka Nadia sambil melihat hp dan berhasil menarik perhatian Buya, aku, dan Ghifar
Aku yang menyaksikan ekspresi Ka Nadia kebingungan juga dan langsung membuka hp. Terlihat di grup itu banyak keluarga mengucapkan innalillahi wa innailaihi rojiuun Ummi dan mengucapkan turut berdukacita ke kita. Ka Nadia masih dengan pertanyaan, "Apa ini maksudnya? Apa ini maksudnya?". Sementara aku tidak menyaksikan ekspresi dari Buya dan Ghifar. Karena merasa ada hal yang membingungkan ini, aku langsung telfon Ka Fadhi dan bangkit dari meja makan.
Tersambung ke Ka Fadhi..
"Assalamualaikum kak? Apa kabar? Gimana kabarnya? Ada kabar apa?", aku membuka pembicaraan
Beberapa detik Ka Fadhi tidak menjawab dan kemudian akhirnya menjawab, "Innalillahi wa innailaihi rojiuun. Allah rindu banget sama Ummi, Zilaaa. InsyaAllah Ummi jannah"
Kemudian aku terdiam beberapa detik, kemudian mengucapkan "Innalillahi wa innailaihi rojiuun", dengan suara yang berat namun terdengar oleh Buya, Ka Nadia, dan Ghifar. Aku pun langsung mematikan telfon Ka Fadhi tanpa mengucap salam. Ka Nadia langsung bertanya, "Gimana?". Aku hanya bisa menjawab dengan anggukan sebagai pertanda bahwa kabar yang di grup itu harus dengan ikhlas kita terima disertai dengan air mata yang terus mengalir. "Sudaaah. Kan kemarin Buya udah bilang. Ikhlas. Jangan sampai ada tangisan yang berlebihan", ucap Buya mengingatkan anak-anaknya
Setelah Buya mengingatkan, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Buya pun membukanya, sedangkan Ghifar pergi ke kamar. Aku pun tidak tau apa yang akan Ghifar lakukan di kamar. Perhatianku kembali terfokus ke pintu rumah yang dibuka oleh Buya. Ternyata keluarga besar Buya yang datang bersama Bang Afif. Buya langsung dipeluk oleh adik-adiknya di depan pintu dan berlanjut Buya memeluk nenek (ibu Buya) dan nenek membawa Buya duduk di sofa ruang tamu. Ternyata di belakang adik-adik Buya dan nenek juga sudah banyak sepupu-sepupuku yang datang. Aku dan Ka Nadia langsung dipeluk oleh sepupu-sepupuku. Malam itu adalah pertama dan terakhir kalinya aku melihat Buya menangis dengan tangisan yang sangat.
Setelah semuanya lebih tenang, Bang Afif, Om Kai, Amah, Bang Iki, dan aku akan menuju rumah sakit. Kemudian Ghifar keluar kamar, "Aku ikut".
28 Agustus 2018 pukul 00.00 aku dan yang lainnya menuju rumah sakit. Selama di perjalanan, yang terbayang di pikiranku adalah momen-momen bersama Ummi. Di antaranya adalah momen ketika Ummi-Buya dan kelima anaknya di dalam mobil pasti selalu bersenandung bersama. Bersenandung sholawat atau ayat Al-Qur'an. Namun momen perjalanan selanjutnya akan berbeda karena sudah tidak ada Ummi dan momen perjalanan sebelum-sebelumnya akan menjadi memori yang begitu melekat di diri.
Tiba di rumah sakit...
Ghifar tanpa basa-basi langsung berlari masuk ke dalam rumah sakit begitu cepat hingga aku dan yang lain tidak bisa menyusulnya. Sampai akhirnya kita melihat punggung Ghifar sedang berbicara dengan suster di depan pintu ICU. Ghifar balik badan dan menyampaikan kabar bahwa Ummi sudah dibawa keluar dari ruangan ICU menuju ruang jenazah. Akhirnya Bang Afif, Om Kai, Amah, dan Ghifar menuju ruang jenazah. Aku diikuti oleh Bang Iki menuju ruang tunggu ICU untuk mengecek apakah barang-barang milik Ummi dan Ka Fadhi masih di sana atau tidak. Ternyata masih ada, sepertinya Ka Fadhi belum sempat mengemas barang. Dikemaslah barang-barang itu oleh aku dan Bang Iki.
Selesai mengemas, aku dan Bang Iki memasukkan barang-barang ke mobil. Setelah memasukkan barang ke mobil, aku menyusul ketiga saudara laki-lakiku yang katanya ada di dalam ruang jenazah. Aku pun masuk ruangan jenazah. Di sana ada Ka Fadhi, Bang Afif, dan Ghifar yang memandang Ummi terbaring dengan senyuman Ummi yang sering Ummi perlihatkan kepada fanafifzilghif. Senyuman seorang ibu yang selalu ikhlas dan sabar dalam membimbing dan merawat anak-anaknya. Ka Fadhi, Bang Afif, aku, dan Ghifar bergantian mencium wajah Ummi.
Akhirnya kita pulang bersama jenazah Ummi di dalam mobil ambulan. Sampai di rumah, sudah banyak orang yang berdatangan untuk mendoakan Ummi. Terlihat juga oleh pandanganku, Buya begitu tegar dan bisa tersenyum kembali. Namun kuyakin di lubuk hati terdalamnya sangat sedih ditinggal oleh istri tercintanya. Sepertiga malam terakhir, adik-adik Ummi datang. Ummi pun disholatkan di waktu Zuhur di Musholla Al-Ikhwan dan setelahnya dimakamkan
Begitulah kejadian 3 tahun lalu, 16 Dzulhijjah 1439H
2 notes · View notes
zilamanzil · 3 years
Text
#BelajarDariNabiYusuf
Mengikuti webinar @halimahalaydrus kemarin mengingatkan kembali betapa pentingnya komunikasi anak ke ayahnya
 قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَا أَبتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِي (QS. Yusuf: 4).
Ayat ini menunjukkan bahwa komunikasi antara anak ke ayahnya mengajarkan kepada kita bahwa betapa pentingnya kedekatan anak kepada ayahnya hingga terbangun komunikasi yang indah. Dimana seorang anak tak segan dan tak takut untuk menceritakan apapun kepada ayahnya. Gaya komunikasi seperti ini akan berpengaruh dalam menjadikan anak tumbuh dan berkembang secara optimal. Akhir-akhir ini banyak kajian psikologi yang menyampaikan inti bahwa kebutuhan anak kepada ayahnya sangatlah besar karena hal itu membantunya menemukan jati diri yang baik, di mana ketika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, anak akan mengisi kekosongan dengan hal lain yang cenderung negatif. Anak perempuan akan mencari sosok lelaki di luaran sana dan anak lelaki bisa kehilangan identitas kelakiannya
Teruntuk para ayah, ibu, calon ayah, dan calon ibu,, tugas kepada anak adalah mengajarkan bagaimana Allah dan Rasulullah memperlakukan hambaNya dan ummatnya. Bagaimana caranya? Berbahasalah yang baik dan lembut kepadanya, menyayanginya adalah melayaninya dengan memberikan "cinta tanpa syarat" yang akan membuatnya tumbuh menjadi anak yang mampu membantu orang lain dengan tulus tanpa modus, berikanlah waktumu yang berharga yang katanya lebih berharga dari pada uang, tunjukkan dengan kasih sayang yang baik padanya. Perlakuanlah ia sebagaimana Allah perlakuan kepada hambaNya, meski hambaNya hina, lemah, tidak ada yang bisa dibanggakan, Allah masih selalu menyiapkan cerita bahagia untuk hambaNya. Meski hambaNya bergunungan dosa, Allah masih selalu mau memaafkan dan mengampuni hambaNya. Perlakuanlah ia sebagaimana Rasulullah perlakuan kepada ummatnya, ketika Rasulullah akan wafat, yang dipikirkannya adalah bagaimana nasib ummatnya setelah Rasulullah tiada, yang didoakannya adalah ummatnya meski ummatnya masih ada yang belum hidup, tidak marah meski dilempari kotoran kala sholat, bahkan seandainya nanti ummatnya masuk jahannam masih ada harapan ummatnya dapat syafaat
Bagaimana dengan anak yang ayahnya tiada? Bagaimana dengan anak yang ayahnya menghilang begitu saja atau cerai dengan ibunya? Kekosongan tersebut dapat digantikan dengan sosok lelaki lain seperti kakek atau pamannya. Tambahkan kabar bahagia juga bahwa Rasulullah adalah bapaknya karena Rasulullah menyandang gelar "Abul Yatama", ayahnya para yatim
Pada ayat ini Nabi Yusuf diceritakan memanggil ayahnya dengan sebutan Ya Abati bukan Ya Abi (sebutan masyhur ayah dalam bahasa arab) karena Abati adalah panggilan kepada Abi yang menunjukkan panggilan sayang yang sangat, ini menunjukkan kedekatan dan panggilan kesayangan seorang anak terhadap ayahnya. Begitupun Nabi Ya'qub sang ayah dari Nabi Yusuf diceritakan memanggilnya dengan Ya Bunayya (pada ayat selanjutnya/ayat 5) bukan Ya Ibni (sebutan anak dalam bahasa arab) karena Bunayya adalah panggilan kepada Ibni yang menunjukkan panggilan sayang yang sangat. Allah menunjukkan kepada kita bahwa pentingnya memanggil orang-orang di sekeliling kita dengan panggilan kesayangan
7 notes · View notes
zilamanzil · 3 years
Text
[BUYA PART 2]
Ketika dokter yang laki-laki masih terus memeriksa, salah satu dokter perempuan yang memang satu-satunya perempuan di sekelompok dokter itu mendekati aku, "Kakak apa hubungannya dengan bapak?"
"Saya anaknya dok"
"Ibu kemana kak?"
"Ibu saya udah ga ada dok"
Dokter langsung merangkulku dan bertanya lagi, "Anaknya bapak hanya kakak aja?"
"Saya punya 3 kakak dan 1 adik lagi dok"
"Kakak kuat ya InsyaAllah. Ikhlasnya terus ditingkatkan. Minta pertolongan ke Allah, InsyaAllah dokter-dokter akan memaksimalkan ikhtiar", mendengar apa yang disampaikan dokter air mataku mulai menetes.
"InsyaAllah dok. Makanya aku minta ke dokter tadi untuk periksa mata bapak karena...", aku jelaskan alasan aku meminta dokter untuk memeriksa kondisi matanya Buya.
"Iya benar kak. Saat ini, bapak dibilang sadar tidak tapi dibilang tidak sadar juga tidak. Kalau pandangan medis, meskipun mata bapak melek tapi memang sudah tidak berfungsi, terutama yang sebelah kanan. Tapi pendengarannya masih berfungsi dengan baik kok. Terus dampingin aja ya kak, diajak zikir, diajak istighfar, dibantu talqin, pasang murottal juga boleh. Lebih bagus lagi pakai headset agar suaranya pasti masuk".
"Biar aku aja dok nanti yang ngaji".
"Oh lebih bagus lagi itu kalau kakak sebagai putrinya yang baca".
Ketika sedang berbincang dengan dokter, Buya kemudian memanggil namaku meskipun dengan pelafalan yang tidak jelas, "Zilaaa", telapak tangan kanannya bergerak seakan meminta digenggam.
"Iya Buyaaa Zila di sini terus kok dampingin Buya", sahutku sambil menggenggam tangan kanan Buya. Kemudian Buya pun mengeluarkan air mata, merintih kesakitan, dan genggamannya makin erat sambil terus memanggil namaku. Air mataku pun makin cepat mengalir, "Iya Buya. Di sini ada Zila dan ada banyak dokter juga kok. Zila pasti terus dampingin Buya yah. Zila ga akan kemana-mana kok. Buya ga usah panggil Zila yah, Zila sudah pasti di sini. Buya kalau kesakitan jangan panggil Zila ya Buya, panggil Allah aja. Zila sama dokter gabisa nolongin Buya. Yang bisa nolongin Buya cuma Allah. Mohon pertolongannya ke Allah. Ya Allah tolong Buya Zila Ya Allah, sayangi Buya Zila Ya Allah, hilangkan rasa sakitnya Ya Allah" sahutku dengan kondisi air mata yang sulit dikondisikan. Pada saat yang sama juga, dokter yang perempuan terus mengusap punggungku. Aku lanjutkan dengan membisikkan ke telinga kanan Buya, "Laa ilaaha illallah". Saat itu, aku bersyukur karena para dokter pun membantu mentalqinkan. Sejak siang itu, fokusku memang hanya tertuju ke Buya hingga kakak iparku menelepon, aku biarkan dan akhirnya kakakku berbicara dengan dokter.
Azan ashar pun berkumandang, dokter-dokter pamit meninggalkan ruangan. Sejak siang tadi, Buya tak mau genggamannya terlepas dariku. Aku lepas sebentar saja untuk memperbaiki kursiku, tangan Buya mencari-cari tanganku. Sejak siang tadi pula, hujan di mataku tak kunjung reda. Namun aku harus tetap sholat ashar, jadi terpaksa aku lepas genggamannya. Setelah sholat ashar, aku sholatkan ashar Buya. Sore itupun aku terus ngaji di sebelah kanan Buya.
Menjelang maghrib, Cing Upi video call. Terlihat di kamera, Cing Upi sedang di rumah Enek. Terlihat juga di kamera, ada Enek, Cing Pipit, Cing Dada, Om Cipto, dan sebagian adik-adik sepupuku. Cing Upi memerintahkan aku istirahat dengan kondisi video call masih tetap menyala. Bagiku istirahat pun tak tenang. Di video call, kita tidak begitu banyak interaksi. Tapi aku yakin, meskipun tidak ada interaksi, lidah mereka tak henti mendoakan Buya karena terlihat dari bibir mereka terus berkedip.
"Cing udah adzan maghrib belom?" tanyaku.
"Belom".
"Kalau udah adzan, kasih tau ya. Soalnya di sini ga kedengeran", karena saat itu aku tak ingin Buya terlambat kalau memang sudah waktunya.
Tak lama terdengar suara adzan, "Tuh udah Zil". Aku langsung tayamumin Buya dan sholatkan maghrib Buya. Di pertengahan aku sedang sholatkan Buya, video call mati karena handphone Buya lowbatt. Setelah Buya sholat, aku sholat maghrib. Setelah sholat maghrib, aku terus ngaji, zikir, dan talqin di sebelah kanan Buya sambil menunggu adzan isya.
Ketika sudah masuk waktu isya, aku langsung sholat isya. Setelah aku sholat isya, aku langsung tayamumin Buya dan sholatkan isya Buya. Seperti biasa, setelah semua selesai, aku terus tilawah. Ketika aku tilawah, Cing Upi telepon ke hp aku.
"Ada zoom ga di hp Zila?"
"Ada Cing".
"Iya join ya. Ini Hans Family (keluarga besar Buya) lagi adain tahlil online".
"Iya".
Semua keluarga besar, mengikuti doa dan tahlil bersama secara online. Terlihat semuanya sedih dengan kondisi yang seperti ini, tidak hanya fanafifzilghif. Enek, adik-adik kandung Buya, adik-adik ipar Buya, ponakan-ponakan Buya, cucu-cucu dari ponakan-ponakan Buya semuanya sangat sedih. Zoom pun berakhir pukul sembilan malam.
Setelah zoom, aku langsung video call semua saudara kandungku. Sebenarnya malam itu aku tidak takut lagi. Namun malam itu aku bingung karena Buya teriak-teriak dan tangannya terus bergerak bahkan hampir mencabut kabel-kabel dan selang-selang alat medis. Ketika video call masih dalam proses ringing, aku sudah meletakkan hp ku di atas meja sedangkan aku sudah di posisi sebelah kanan Buya untuk terus membantu talqin di telinga sebelah kanan Buya sambil terus menggenggam erat tangan Buya. Aku terus berdoa mohon pertolongan ke Allah dalam hati. Video call pun tersambung ke seluruh saudara kandungku. Namun aku membiarkan semua saudara kandungku menyaksikan yang terjadi tanpa berinteraksi dengan mereka. Mereka pun akhirnya juga tidak mengajak aku berinteraksi. Terlihat ada rasa khawatir bercampur dengan sedih dari raut wajah mereka. Merekapun terus berdoa dan berdzikir.
Buya masih terus berteriak dan menggerakkan tangannya, hingga membuat badan Buya hampir jatuh dari ranjang rumah sakit. Aku yang sudah berkali-kali memanggil perawat untuk membantuku dalam memperbaiki posisi Buya lebih memilih menahan tubuh Buya dengan tubuhku sendiri. Kepala Buya yang miring dan hampir terjatuh itu aku tahan dengan kepalaku, sedangkan badan Buya kutahan dengan lengan kiri atasku. Ketika tubuhku sudah keberatan untuk menahannya, baru aku pencet bel panggilan ke perawat dan itu terjadi berkali-kali. Seluruh saudara kandungku pun terlihat kebingungan karena mereka hanya bisa membantu lewat doa dan menemani secara virtual melalui video call. Lafadz laa ilaaha illallah terus terucap dari mulutku dan mulut seluruh saudara kandungku.
Tiba-tiba Bang Afif meminta Ghifar untuk sambil memutar murottal dengan speaker diarahkan ke handphonenya agar suaranya terdengar oleh aku dan Buya, "Ghifar, coba kamu bantu pasang murottal biar Ka Zila juga ga kelelahan terus-terusan ucap laa ilaaha illallah sambil jagain Buya. Zila, kamu juga coba ambil posisi nyaman, biar Zila istirahat juga". Aku coba melakukan apa yang dibilang oleh Bang Afif, namun keadaan mengharuskan aku untuk menjaga Buya jangan sampai terjatuh.
Saat itu tanpa sepengetahuanku, ketiga kakakku berdiskusi. Ka Nadia melihatku sudah sangat pucat. Akhirnya Ka Nadia membuka pembahasan ke Ka Fadhi dan Bang Afif. Sewaktu aku masih konsentrasi menopang tubuh Buya, Ka Fadhi menegurku melalui video call, "Zila baca japri Ka Fadhi". Aku pun langsung menahan tubuh Buya dengan tangan kiriku dan memegang hp dengan tangan kananku.
"Zil, tanyain ke perawat. Kalo sudah swab test boleh langsung jaga kah? Atau harus tunggu hasil? Kak Fadhi mau jaga buya. Prosedurnya bagaimana?" begitulah isi japri dari Ka Fadhi.
Aku pun memanggil perawat melalui bel karena Buya benar-benar tidak bisa ditinggal. Perawat pun datang dan aku langsung menanyakan pertanyaan dari Ka Fadhi. Sebelum perawat pergi, aku juga meminta perawat untuk membantuku dalam memperbaiki posisi Buya. Perawat pun pergi. Kemudian Bang Afif bilang, "Zil coba kamu tanya ke dokter atau perawatnya kalau Buya begini harus bagaimana? Harus seperti apa? Apakah tidak ada tindakan? Atau dikasih obat penenang atau yang lainnya?". Kemudian aku memanggil perawat kembali melalui bel. Ketika perawat datang, aku langsung bertanya sesuai dengan yang diucapkan oleh Bang Afif. "Sebentar ya kak saya tanyakan ke dokter dulu", ucap seorang bruder. Ketika perawat itu hendak pergi, aku menghentikannya kembali dan bertanya, "Kalau bapak kondisinya seperti ini dan saya terus-terusan memutar murottal apakah tidak menggangu pasien lain?"
"Kakak tenang aja. Kakak pokoknya tetap dampingi terus bapak aja, biar hal itu urusan kita. Lagian kalau tidak ada yang protes, berarti tidak menggangu pasien lain kak", jawab bruder menenangkan.
"Oh ok. Makasih ya bruder".
Perawat pun pamit meninggalkan ruangan. Tak lama, perawat pun kembali dan kali ini bersama dengan dokter. "Kakak, saya bisa saja memberikan obat penenang ke pasien. Tapi konsekuensinya, pasien akan sangat kesulitan bernapas. Tapi kalo keluarga merestui, kami akan melakukan itu. Kalau terkait ikat tangan, melihat kondisi bapak yang seperti ini memang lebih baik diikat saja tangannya", ucap dokter.
"Oh ok terimakasih dok. Saya mau diskusi dengan keluarga dulu".
Dokter pun mempersilahkan dan perawat langsung mengikat kedua tangan Buya.
Setelah kedua tangan Buya diikat, aku melaporkan ke seluruh saudara kandungku. Usai aku laporan, aku meninggalkan Buya di dalam ruangan bersama dengan putaran murottal. Aku keluar ruangan untuk berdiskusi dengan keempat saudaraku lainnya. Diskusi pun berjalan dalam waktu yang cukup panjang. Inti dari hasil diskusi itu adalah seluruh saudara kandungku melihat aku sudah terlalu lelah. Oleh karena itu, Ka Fadhi mohon izin ke kita semua untuk istirahat lebih awal. Rencananya, esok hari Ka Fadhi akan menjalani tes PCR agar bisa bergantian denganku. Seluruh saudara kandungku ingin aku pulang dan istirahat sejenak di rumah. Di samping aku istirahat, Ka Fadhi yang akan menemani Buya di rumah sakit. Oleh karena itu, yang akan online sampai subuh adalah Ka Nadia dan Bang Afif, karena Ghifar akan melaksanakan ujian esok paginya.
Aku pun kembali ke dalam ruangan. Ketika aku sudah di dalam ruangan, aku dipaksa tidur oleh ketiga kakakku. Aku pun menurutinya. Sebelum tidur, aku posisikan hp ku bisa menyoroti aku yang sedang istirahat dan Buya yang masih terbaring kesakitan di ranjang rumah sakit. Handphone aku letakkan di sebelah kiri Buya, sementara aku tidur di kursi dengan posisi kepalaku menempel dengan kaki kanan Buya.
Kamis, 28 Januari 2021 sekitar pukul setengah dua dini hari, terdengar lantunan ayat suci Al-Quran dan dzikir dari Ka Nadia dan Bang Afif untuk menemani Buya, tak lama pun akhirnya aku mulai tertidur. Pukul setengah empat, aku terbangun dan melihat Buya semakin lemah. Ka Nadia dan Bang Afif pun mulai lelah. Perlahan pun mataku terpejam kembali. Sekitar pukul lima pagi, aku terbangun karena Ka Nadia memanggilku dan mengingatkanku untuk segera sholat subuh. Aku langsung segera berwudhu dan menunaikan sholat subuh. Usai sholat subuh, aku tayamumin Buya dan sholatkan subuh Buya. Setelah selesai, ada video call masuk di hp Buya. Ternyata dari Cing Upi. Cing Upi menanyakan kabar Buya, aku kasih lihat kondisi Buya. "Kalo ada apa-apa atau Zila mau istirahat, video call Cing Upi aja ya. Cing Upi selalu on kok", ucap Cing Upi.
"Iya Cing, alhamdulillah Zila udah tidur kok. Semalem ditemenin sama Ka Nadia-Bang Afif"
"Oh alhamdulillah. Yaudah pokoknya itu ya Zil. Kabarin Cing Upi kalo ada apa-apa. Zila baik-baik aja ya. Assalamualaikum"
"Iya Cing, makasih Cing. Wa'alaikumussalam".
Setelah video call dengan Cing Upi, aku berbicara dengan Ka Nadia karena Bang Afif sudah pamit sejak subuh awal. "Kak, Ka Diah kalo udah mau istirahat, istirahat aja kak gapapa. Buya udah sama Zila, Zila juga udah tidur kan semalaman", kataku mempersilahkan Ka Nadia istirahat.
"Iya, titip Buya ya Zil. Boleh arahin videonya ke Buya? Ka Diah mau ngomong sama Buya"
Ketika aku hendak mengarahkan videonya ke Buya, perawat datang. Ka Nadia pun menunda menutup video callnya.
Perawat datang untuk memeriksa kondisi Buya terutama suhu dan tensi darahnya. Ka Nadia pun menyaksikan pemeriksaan itu melalui video call. Tensi darah dicek sebanyak empat kali, namun hasilnya selalu error. Ketika pengecekan tensi darah kelima, baru terbaca. Namun hasilnya sangat rendah. Usai dicek tensi darahnya, perawat mengecek suhu tubuh Buya. Suhu dicek sebanyak lima kali dan hasilnya error semua. "Astaghfirullah Ya Allah, innalillahi wa innailaihi rojiuun", terdengar suara Ka Nadia dari video call.
"Apa maksudnya ya bruder? Ini alatnya yang rusak atau bagaimana ya?" tanyaku kepada perawat
"Ini karena suhu tubuh bapak sudah sangat dingin. Gapapa kak, nanti sebentar lagi kita cek lagi ya", jawab perawat dan langsung pamit keluar ruangan. Ketika perawat sudah keluar ruangan, aku bilang ke Ka Nadia, "Kak udah nih. Mau pamit?"
"Iya boleh. Mana Buya?"
Ketika aku hendak mengarahkan videonya ke Buya lagi, perawat yang lain masuk ke ruangan. "Kak ini sarapannya tolong dimasukin lewat NGT (selang yang ada di hidung Buya) ya", ucap perawat itu sambil meletakkan secangkir nutrisi untuk Buya di meja kemudian langsung keluar ruangan. "Kak, Zila mau suntikin sarapan buat Buya dulu. Mau pamit sekarang atau abis Zila selesai aja?" tanyaku
"Yaudah Buya sarapan dulu aja", jawab Ka Nadia
Aku pun menyuntikkan cairan nutrisi melalui saluran NGT dengan sangat hati-hati. Ketika aku menyuntikkan cairan nutrisi tersebut, Buya sudah terlihat sangat lemah. Setelah selesai, aku berbicara lagi dengan Ka Nadia, "Kak udah nih kalo mau pamit"
"Mana Buya?" balas Ka Nadia
Aku langsung mengarahkan videonya ke Buya. Ka Nadia pun pamit kepada Buya.
Setelah video call Ka Nadia mati, aku langsung memutar murottal surat Yasin. Kemudian aku memutuskan untuk membalas chat-chat yang masuk karena seharian kemarin aku benar-benar tidak membuka chat sama sekali, sedangkan tiap harinya pasti selalu ada chat yang menunggu kabar Buya dari adik-adik Buya, adik-adik Ummi, dan teman-temanku. Ketika aku baru saja duduk selama 1-2 menit sambil membalas chat-chat tersebut, tiba-tiba aku mendengar seperti ada suara cairan yang mengalir. Aku langsung mencari sumber suara itu. Ternyata sumber suara itu berasal dari Buya. Ternyata Buya muntah. Cairan nutrisi yang aku suntikkan melalui saluran NGT, dikeluarkan oleh Buya. Aku langsung memanggil perawat melalui bel emergency. Seorang bruder pun datang ke ruangan. "Bruder, bapak...", aku belum selesai bicara.
"Oh yaampuuun", perawat langsung paham apa yang mau kujelaskan dan mengambil banyak tisu. Saluran NGT pun dibuka olehnya namun ternyata Buya muntah lewat mulut, NGT ditutup kembali. Berlembar-lembar tisu diambil untuk menahan muntah Buya agar tidak mengalir kemana-mana. Saat perawat sedang sibuk menangani Buya, aku melihat mata Buya sudah terpejam. Aku langsung talqin dengan volume sedikit lebih keras dan berkali-kali. Buya muntah sangat banyak. Dapat dipastikan, cairan yang aku masukkan melalui saluran NGT, sama dengan yang dikeluarkan oleh Buya. Selain disibukkan dengan mengambil banyak tisu, perawat mengecek nadi yang ada di tangan Buya. Nadi di pergelangan tangan kanan sudah tidak ada, perawat akhirnya menemukan masih ada denyutan di perbatasan antara lengan atas dan lengan bawah tangan kanan Buya. "Kak tolong hubungi keluarga untuk segera hadir ya. Bapak kondisinya kritis", ucap perawat.
"Ya Allah. Kritis?" tanyaku untuk meyakinkan sambil mulai chat di grup keluarga, "Buya kritis", isi chatku yang sangat singkat di grup keluarga, chat terkirim pukul 07.05. Selang beberapa detik, Ka Fadhi menanggapi chatku di grup keluarga, "Ka Fadhi otw". Aku melihat info chat, yang baru baca Ka Fadhi. Aku ingin Ka Nadia segera tau karena Ka Nadia ada di rumah, dan rumah letaknya berdekatan dengan rumah nenek, dan disana sebagian adik-adiknya Buya menetap dari hari-hari sebelumnya. Akhirnya aku langsung telpon Ka Nadia. Ternyata yang angkat Ka Hadi (suami Ka Nadia). Ka Nadia sedang tidur karena semaleman menemani Buya. Tanpa banyak basa-basi, aku langsung bilang, "Kak Buya kritis", kemudian langsung mematikan teleponnya. Tak lama kumematikan telepon, Ka Nadia dan Bang Afif video call.
Di sisi lain, ketika aku sibuk memberi kabar ke keluarga, seorang bruder yang memberi tahu bahwa Buya kritis meninggalkan ruangan. Ternyata bruder itu memanggil rekan-rekan perawat lainnya dan mengambil sebuah alat medis yang kutebak itu adalah alat EKG. Beberapa perawat pun menangani Buya dan dipasangnya alat itu ke badan Buya. Ketika itu sedang berlangsung, Ka Nadia dan Bang Afif bantu mendoakan melalui video call sambil mereka bersiap diri hendak menuju rumah sakit. Ketika video call berlangsung, aku tidak peduli dengan kamera menangkap apa, pikiranku hanya tertuju pada Buya. Aku mengelus kepala Buya dan membisikkan lafadz "Laa ilaaha illallah" di telinga sebelah kanannya. Namun aku ditegur oleh salah satu perawat, "Kak jangan disentuh dulu bapaknya, jangan sentuh kasurnya juga ya, lagi diperiksa oleh alat ini". Aku pun menjauh dan tak henti mengucap tahlil. Setelah Buya ditangani oleh banyak perawat, salah satu perawat keluar ruangan kemudian kembali lagi bersama dokter dengan membawa selembar kertas. Ketika dokter datang, aku langsung mematikan video callnya. Dokter yang datang adalah dokter jaga ruang rawat inap, bukan dr. Faizal. Dokter bertanya, "Kakak siapanya Pa Abdullah?"
"Saya anaknya dok".
"Kakak mohon maaaaaaf dan mohon diikhlaskan juga, bapak sudah tiada".
"Innalillahi wa innailaihi rojiuun”.
"Menurut rekam medis, bapak dinyatakan pukul 07.11 sudah tiada dan sekarang pukul 07.15".
"Ya Allah Buyaaa, innalillahi wa innailaihi rojiuun", aku mencium kening Buya. Setelah aku mencium kening Buya, aku diambilkan tempat duduk oleh salah satu perawat. "Kakak tenang aja duduk sini ya, biar kita bantu merapikan semuanya termasuk administrasi", ucap perawat sambil mempersilahkan aku duduk. "Silahkan dikabarkan kak keluarga yang lain", ucap perawat lain mengingatkanku. Aku langsung chat ke grup keluarga, "Innalillahi wa innailaihi rojiuun. Buya nyusul Ummi tadi jam 07.11". Semua anggota keluarga pasti sedih. Bang Afif video call dan akupun langsung mengangkatnya. Tangisku pun makin jadi ketika menerima video call dari Bang Afif. Bang Afif berkata dengan suara agak berat, "Zilaaa, itu udah benar kabarnya? Coba pastikan lagi". "Bener Bang. Buya udah wafat nyusul Ummi. Tadi dokternya langsung yang ngomong sama Zila". "Ok Bang Afif di rumah ya. Nyiapin semua yang di rumah. Ntar yang nyusul ke rumah sakit Ka Fadhi", Bang Afif pun menutup video callnya.
"Ghifar otw RS", begitulah kabar yang aku dapat dari chat Ka Nadia. Sambil kumenunggu kedatangan Ka Fadhi dan Ghifar, murottal tetap kuputar. Perawat-perawat pun membantu merapikan jenazah Buya, sementara aku merapikan barang-barang. Ketika semua sudah rapi, aku duduk kembali sambil mulai memberikan kabar ke teman-teman terdekat. Kemudian aku mendapat chat dari Ghifar, "Kak aku udah di depan. Boleh masuk?". "Kamu tunggu Buya keluar ruangan aja ya Ghif. Yang diizinkan masuk hanya satu orang. Biar Ka Fadhi yang masuk aja ya soalnya sekalian memutuskan paket dan administrasi jenazah", jelasku kepada Ghifar. Ghifar pun paham. Tak lama Ka Fadhi pun mengirim chat, "Ka Fadhi udah di depan ruangan nih Zil sama Ghifar". Aku langsung lapor ke perawat bahwa keluarga yang akan masuk sudah datang. Aku menemui kakak sulung dan adik bungsuku. Sebelum masuk, Ka Fadhi pun memeluk aku dan Ghifar secara berbarengan. Dalam pelukannya, Ka Fadhi bilang, "Allah udah rindu banget ya sama Buya. Zila sama Ghifar kuat ya, sabar ya, ikhlas ya. Ka Fadhi mau bilang makasih ke Zila sama Ghifar yang udah banyak rawat Buya. Makasih juga buat Zila, akhirnya Zila bisa berhasil jaga dan rawat Buya di rumah sakit. Pokoknya doain aja Buya, doain Ummi juga. InsyaAllah kita anak-anak Buya-Ummi diberikan keikhlasan, kesabaran, dan kekuatan sama Allah terutama Zila dan Ghifar". Aku pun sudah tak bisa berkata-kata lagi untuk menanggapi omongan Ka Fadhi. Kemudian suster yang membuka kunci pintu pun menunggu kami selesai berbicara, setelah itu mempersilahkan aku dan Ka Fadhi masuk.
Sebelum mengurus administrasi paket jenazah, Ka Fadhi menemui Buya terlebih dahulu. Ka Fadhi mencium kening dan mengusap kepala Buya untuk melepas rindu. Setelah selesai mengurus dan menunggu surat keterangan kematian dari rumah sakit, jenazah Buya pun diangkut menuju ambulan sekitar jam sembilan pagi. Aku dan Ghifar pun pulang ke rumah bersama Buya menggunakan ambulan, sedangkan Ka Fadhi mengikuti ambulan dari belakang menggunakan mobil pribadi.
Buya disholatkan dan dimakamkan di waktu ashar. Aku sangat berterimakasih kepada Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara/i, dan teman-teman yang telah ikut dalam acara wisuda agung Buya dari Sang Maha Agung.
Buya...
Kau telah menuntun Zila setiap hari. Kau telah menemani masa pertumbuhan Zila untuk tumbuh menjadi anak-anak yang sholihah
Buya...
Kau mengajarkan Zila tentang iman dan islam. Kau tunjukkan tentang arti cinta yang sebenarnya. Kau jelaskan Zila tentang makna kehidupan. Dan kau mendidik Zila dengan sungguh kasih sayang
Buya...
Orang yang selalu tersenyum ketika Zila melangkahkan kaki menuju Allah. Orang yang dapat menahan amarah ketika Zila salah. Panas terik matahari kau tetap bekerja. Hujan deras badai pun kau masih kuat bekerja. Tak kenal cuaca dan halangan kau membanting tulang. Semua itu terlihat di pintu lemari pakaianmu. Kau membuat daftar target demi pendidikan fanafifzilghif, anak-anakmu.
Saat kau sakit pun, kau tetap bertopeng. Kau menyembunyikan berjuta rasa sakit. Padahal anak-anakmu tau kau sedang rapuh dan kesakitan. Sedih hati kami, tak kuasa melihat semua pengorbananmu
Ya Allah...
Betapa durhakanya Zila. Tak sadar Zila selama ini sering tak menghargainya. Zila sering marah, meminta ini-itu padanya, tapi apa balasan beliau kepada Zila? Beliau tetap sabar. Beliau tetap ikhlas mendidik aku dan saudara-saudaraku lainnya menjadi anak-anak yang baik
Buya...
Kini hari-hari Zila tidaklah bersamamu lagi. Akan tetapi memori yang Zila habiskan bersamamu begitu melekat. Maafkan Zila belum bisa menjadi anak baik. Belum bisa jadi seperti yang kau harapkan. Kasih sayangmu takkan mampu tergantikan oleh orang lain. Perhatian yang kau berikan kepada Zila takkan pernah Zila lupakan. Zila akan selalu menyayangimu dengan doa hingga akhir hayat Zila. Tinggallah kami, anak-anakmu di sini melanjutkan perjuanganmu, membangun impianmu, menyalakan kebiasaan-kebiasaan bersamamu untuk taat kepada Allah dan saling mencintai sesama saudara sesuai pesan yang selalu Buya dan Ummi sampaikan. Banyak orang yang menyaksikan kebaikanmu, Buya. Prestasimu di akhir hayat begitu cerah, terlihat banyak orang yang mendoakanmu. Dan itu mirip dengan perkataanmu di rumah sakit, "Buya mimpi bolak-balik dari rumah kita, ke rumah nenek, dan berakhir di masjid. Di masjid Buya sholat berjamaah bareng banyak banget orang, Buya seneng banget rasanya". Karena kebaikanmu sangatlah besar. Hanya Allah Sang Maha Besar yang mampu mengapresiasi kebaikan besar itu.
Selamat atas wisuda agung dari Sang Maha Agung, Buya. Selamat menyusul Ummi. Selamat menjadi pengantin baru bersama kekasih dunia-akhiratmu di surgaNya. Aamiin
Terimakasih Buya atas segalanya
Dari aku yang selalu rindu dan mendoakanmu,
MANZILA
10 notes · View notes
zilamanzil · 3 years
Text
[BUYA PART 1]
"Kuat" dan "Sabar", itulah dua kata yang selalu tertuju kepadaku dari banyak orang. Setiap menerima kata-kata itu, perasaanku selalu menjawab penuh harap "Siap InsyaAllah". Sejujurnya, hari-hari setelah Kamis, 28 Januari 2021 bukanlah hari yang mudah untuk kulalui. Ummi belum genap tiga tahun pergi dan sekarang Buya telah menyusulnya, meninggalkan begitu banyak memori. Kini aku sudah kehilangan dua pintu surga dan kehilangan perantara diijabahnya doa-doa. Tak akan ada lagi panggilan merdu memanggil, "Zilaaa...Manzilaaa...". Hari ini izinkan aku memenuhi permintaan dari banyak orang untuk membuat tulisan tentang Buya.
Buya sudah mengidap sakit cancer colons sejak tiga bulan setelah wafatnya Ummi, November 2018. Tahun 2019 Buya menjalani operasi dan kemoterapi. Alhamdulillah setelah menjalani operasi dan kemoterapi berkali-kali, Allah memberikan kekuatan kepada Buya. Setelah menjalani tindakan-tindakan tersebut Buya masih selalu hadir di banyak majelis, masih selalu menghidupkan dua masjid, dan masih beraktivitas sebagaimana layaknya orang sehat. Alhamdulillah berkah pandemi, aku menghabiskan banyak waktu di rumah. Menikmati bulan Ramadhan bersama Buya, menikmati sholat berjamaah dengan Buya, menikmati suara Buya untuk membangunkanku, dan nikmat-nikmat lainnya yang selama ini terlewat.
Agustus 2020, kenikmatan aku dan adikku dicabut. Aku sakit thypus dan adikku, Ghifar, sakit demam berdarah. Saat itu Buya yang menjaga, mengurus, dan merawat kita. Qaddarullah, ternyata itu adalah sakit terakhir kita yang dirawat oleh Buya. Awal September saat kita berdua sembuh, Buya yang bergantian menjadi demam. Pada awal September juga adalah jadwal Buya untuk menjalani proses Bone Scan di rumah sakit. Sepulang dari Bone Scan, kondisi Buya semakin drop. Sejak awal September, perlahan kondisi Buya terus melemah. Berangkat ke masjid pun harus dibonceng pakai motor. November 2020 Buya harus bed rest dan pada Desember 2020, kondisi Buya mengharuskan beliau menjalani transfusi darah. Akhirnya sejak Desember sampai Buya dipanggil Allah, Buya keluar-masuk rumah sakit sebanyak tiga kali.
Kondisi pandemi seperti ini mengharuskan kita untuk patuh dengan prokes (protokol kesehatan) rumah sakit. Untuk prokes di MRCCC Siloam Hospital Semanggi adalah calon pasien rawat inap harus melakukan tes PCR terlebih dahulu. Jika hasilnya negatif, maka diterima menjadi pasien rawat inap. Begitupun dengan pendamping pasien. Pendamping pasien hanya diizinkan satu orang, tidak boleh bergantian, dan harus melewati tes PCR. Jika hasilnya negatif, maka diizinkan untuk mendampingi. Oleh karena itu, sejak awal Desember sampai pertengahan Januari, Buya dan aku harus tiga kali melewati tes PCR.
Jumat, 22 Januari 2021 sebelum subuh, aku dibangunkan oleh kakak perempuanku, Ka Nadia. "Zila, Buya kesakitan minta dibawa ke rumah sakit. Tolong telpon Ka Fadhi". Akhirnya aku bangun dan langsung menghubungi kakak sulungku, Ka Fadhi. Namun tak tersambung ke Ka Fadhi dan baru tersambung pukul 05.30 WIB. Ternyata Ka Nadia bilang kalau Buya sudah kesakitan sejak pukul 00.00. Sakitnya hilang-timbul. Setiap merasakan kesakitan Buya ingin dibawa ke rumah sakit karena sakitnya sudah tak tertahankan, namun ketika rasa sakitnya hilang Buya menyampaikan untuk dirawat di rumah saja. Akhirnya pagi itu, anak-anak Buya yang di rumah bekerja sama untuk merawat Buya. Pukul 06.30 Buya meminta ke aku untuk menghubungi Bang Afif, kakak ketigaku, agar ke rumah Tebet. Alhamdulillah pagi itu kelima anak Buya bisa berkumpul di rumah. Kita berusaha merawat dan mendo’akan Buya. Akhirnya sekitar pukul 08.00 WIB terputuskanlah untuk membawa Buya ke rumah sakit untuk ketiga kalinya
Tiba di rumah sakit, dokter mengajakku dan Ka Fadhi berbincang. Intinya adalah dokter menyampaikan bahwa kanker Buya sudah stadium tertinggi dan sudah menyebar kemana-mana. Dokter juga memohon izin jika nanti Buya kondisinya sangat drop, Buya tidak akan dibawa ke ruang ICU dan tidak dipakaikan ventilator karena tidak ada tujuannya dan itu hanya membuat Buya semakin sakit. "Dok kalau kita berbicara tentang kemungkinan, bagaimana dengan kemungkinan orang tua saya?", dengan penuh pengharapan Kak Fadhi bertanya. Lalu dokter menjawab, "Semua ada di tangan Tuhan. Ini hanya pandangan medis saja ya. Bapak kalau bisa bertahan dua pekan dari sekarang, artinya Bapak sudah sangat kuat melawan kankernya itu" Setelah berdiskusi dengan dokter, saatnya aku dites PCR kemudian mulailah proses rawat inap dimulai.
Hari keempat dirawat sekitar jam setengah enam pagi, Buya bilang kalau Buya setiap tidur selalu mimpi. Ketika kutanya mimpi apa, Buya menjawab kalau Buya mimpi sholat. "Buya jalan bolak-balik dari rumah kita ke rumah enek (sebutanku ke ibunya Buya) dan berakhir di masjid. Di masjid Buya sholat berjamaah dengan banyaaak banget keluarga", kata Buya. Jujur, setelah mendengar cerita itu ada perasaan khawatir karena teringat Ummi. Beberapa hari sebelum Ummi wafat, Ummi cerita ke aku dan Ka Ima (istri Ka Fadhi) kalau Ummi mimpi bertemu dengan orang-orang yang sudah wafat. Spontanlah aku tanya ke Buya, "Keluarganya siapa aja Buy?". Buya jawab, "Pokoknya banyak banget keluarganya". Kemudian Buya bilang mau tidur lagi, aku persilahkan dan aku tilawah. Ketika aku yakin Buya belum pulas tidur, aku dengar Buya berbicara sendiri. Langsung saja, "Kenapa Yah?"
"Tuhkan Buya mimpi lagi"
"Buya mimpi apa?"
"Iya tadi dari arah sana (sambil nunjuk jendela rumah sakit) kayak ada temen metrisia Buya namanya Ujang yang dateng. Yaudah Buya tanya, "Ada tugas?"
Fyi, metrisia adalah komunitas remaja masjid waktu Buya muda.
"Yaudah Buya tidur aja. Buya ngantuk itu. Sambil zikir aja yah. Kalo Buya hafal surat yang Zila baca, boleh banget ikutin. Zila lagi baca Surat Asy-Syura nih"
Mendengar cerita itu, kesedihanku semakin bertambah. Diriku bertanya-tanya, apakah ini Ya Allah? Aku langsung melanjutkan tilawahku lagi sedangkan Buya pun pulas tertidur. Sekitar 5 menit Buya baru saja tertidur pulas, Buya berbicara sendiri lagi, "Buya gapapa". Aku langsung menghentikan kembali tilawahku dan bertanya,
"Ada apa yah?"
"Tadi ada Bang Afif ya?"
"Hah? Mana? Ga ada Bang Afif kok. Dari tadi ada Zila doang di sini temenin Buya. Lagipula kan gaboleh yah Bang Afif ke sini".
"Tadi kayak ada Bang Afif. Terus Bang Afif nanya, ‘Buya kenapa?’ Yaudah Buya bilang ke Bang Afif kalo Buya gapapa"
Mendengar Buya, aku spontan berdoa dalam hati, "Ya Allah berikan kenyamanan untuk Buya, panjangkan umur Buya" dan langsung mengabarkan Bang Afif tentang percakapan tadi. Ternyata Bang Afif memang hari itu sedang kurang fit, MasyaAllah sepertinya ini bentuk kontak batin antara orang tua dan anak. Perlahan-lahan aku memberi tau kabar bahwa Bang Afif sedang sakit ke Buya dan Buya mengiyakan. Merasa kejadian Buya berbicara sendiri terus berulang, aku alihkanlah perhatian Buya agar hanya tertuju padaku. Aku bilang ke Buya,
"Video call sama anak-anak dan cucu-cucu Buya yuk"
Buya menggelengkan kepala.
"Video call sama adik-adik Buya? Atau sama enek?"
Buya pun juga menggelengkan kepalanya. Dari awal masuk rumah sakit, Buya selalu menolak untuk diajak berkomunikasi dengan keluarga di rumah kecuali memang keluarga di rumah yang menelepon aku duluan. Akhirnya tanpa sepengetahuan Buya, aku menghubungi kakak-kakak dan akhirnya kita video call bersama Buya meskipun Buya hanya melambaikan tangannya karena senang melihat kelucuan para cucu-cucunya. Video call pun selesai, namun semakin siang semakin banyak perkataan dan perbuatan yang membuatku takut. Diantaranya adalah ketika Buya sedang tidur siang dan aku sedang tilawah, Buya tiba-tiba ngomong dengan volume yang sedikit lebih besar, "Kenapa Ghifaar?" Langsung aku tanya, "Kenapa Buya?"
"Itu Ghifar nanyain apa tadi? Buya ga denger"
"Ghifar? Emang ada Ghifar?"
"Iya itu ada Ghifar"
Spontan aku langsung mengeluarkan air mata dan langsung chat Ka Nadia. Usai chat Ka Nadia, lagi-lagi Buya ngomong sendiri lagi, "Alhamdulillah anak-anak sehat dan seneng lagi pada makan kebuli di rumah"
"Buyaaa, Buya ngomong sama siapa sih? Kok Buya bisa tau kalo di rumah makan kebuli?"
"Iya Buya tau"
"Kok Buya bisa tau? Buya tau dari mana?"
"Iya ya. Kok Buya tau ya. Ya pokoknya Buya tau"
Padahal aku sangat yakin di rumah tak mungkin makan nasi kebuli ketika orang terkasih kita sedang di rumah sakit. Air mata ini sudah tak terbendungkan. Aku memutuskan keluar ruangan dan menangis di luar, kemudian aku menelpon Ka Nadia. Saat itu kondisiku benar-benar tidak tenang dan kacau. Kebanyakan isi telpon aku ke Ka Nadia hanya tangisan saja dan Ka Nadia berusaha menenangkan aku. Setelah tenang, aku kembali masuk ke ruangan. Aku langsung ajak ngobrol Buya.
"Yah, udah yuk Buya ikutin Zila tilawah aja. Buya mau Zila baca surat apa biar Buya bisa ikutin?"
"Apa ya? Surat apa aja deh. Coba Buya mau liat Quran kamu, kebaca ga ya sama Buya."
Aku bukakan Al-Qur'an ku dan memperlihatkan ke Buya.
"Aduh hurufnya kecil banget, ga kebaca sama Buya. Coba Quran yang di hp."
Aku perlihatkan aplikasi Al-Quran hp ke Buya.
"Sama juga."
"Buya mau ngaji? Mau dibawain Quran yang gede dari rumah?"
"Boleh."
"Yaudah nanti Zila minta bawain sama orang rumah, sekarang Zila pasang Qur'an digital aja ya. Kita baca surat Al-Baqarah bareng. Banyak potongan ayat Al-Baqarah yang Buya hafal kan?"
"Iya boleh."
Akhirnya aku dan Buya sore itu ngaji bareng sambil mendengarkan Qur'an digital dari HP. Di pertengahan jalan ngaji bareng, Buya tertidur kembali. Karena aku merasa badan aku pegal-pegal, akhirnya aku sandarkan punggungku ke tembok dengan kondisi bibirku tak lepas dari membaca surat Al Baqarah. Sambil tilawah, aku memandang Buya yang terbaring di depanku. Lagi-lagi aku terkejut karena Buya mengangkat tangan kanan ke atas seakan akan bersalaman dengan seseorang yang di atas. Langsung aku berdiri dan meraih tangan kanan sambil memanggil Buya dan berkata lembut, "Zikir yaaah". Akhirnya aku melanjutkan tilawah sambil menggenggam tangan kanan Buya.
Hari mulai malam, aku menyuapi Buya makan malam. Setelah makan malam, Buya minta gosok gigi dan aku bantu beliau untuk menggosok gigi. Setelah menggosok gigi, kami berdua siap untuk tidur malam. Namun kejadian demi kejadian siang tadi sejujurnya mengganggu pikiranku. Akhirnya aku memutuskan untuk tak tidur demi menjaga Buya dan murottal terus kuputar sepanjang malam itu. Sepertiga malam terakhir, Buya terbangun dan tahajjud. Tak lama usai Buya tahajjud, azan subuh berkumandang. Buya dan aku menunaikan sholat subuh sendiri-sendiri. Usai sholat subuh, Buya minta minum, lalu aku berikan minum.
Pukul 6 pagi adalah jadwal perawat visit. Pagi itu saturasi oksigen Buya sangat rendah. Oleh karena itu, tekanan oksigen Buya dinaikkan secara drastis oleh perawat. Ketika tekanan baru dinaikkan, Buya merasa kurang nyaman dan meminta untuk dibuka saja karena hidungnya terasa gatal. Aku dibantu perawat berusaha menyalurkan energi positif agar Buya sabar menggunakan oksigen tersebut. Akhirnya Buya lebih tenang, kemudian Buya bilang mau tidur lagi karena masih ngantuk. Aku membiarkan Buya tidur dan kondisi murottal masih terus terputar dari semalam. Ketika Buya tidur, aku bersihkan kantong kolostomi Buya. Selama Buya tidur, aku bertanya-tanya, "Ini Buya beneran tidur kan bukan ga sadar diri?". Akhirnya aku memastikan ke suster, kemudian suster menjawab, "Bapak masih sadar kok kak, tapi memang kesadarannya mulai menurun. Nanti suster periksa lagi ya kak. Tetap ditemani terus saja bapaknya". Aku kembali ke ruangan dengan perasaan sedikit lega mendengar jawaban suster.
Tak lama kemudian, suster datang dan memeriksa kondisi Buya. Setelah memeriksa, suster bilang, "Kak kita mau memindahkan bapak ke ruangan khusus ya". Alasan Buya dipindahkan karena pagi itu Buya dinyatakan koma. Suster melanjutkan penuturannya, "Kakak silahkan hubungi keluarga, nanti saya minta rekomendasi ke kepala suster agar keluarga bapak diizinkan masuk karena kondisi bapak yang memburuk. Tapi masuknya satu per satu secara bergantian ya kak dan wajib menggunakan masker+faceshield". Aku langsung memberi kabar ke grup keluarga. Setelah itu, Buya pindah ruangan. Aku menunggu kedatangan kakak-kakak di ruangan baru bersama Buya yang koma. Ketika baru sampai di ruangan baru, aku langsung giat talqin, membaca surat Yasin, dan memutar murottal Yasin.
Sambil aku menunggu dan terus zikir, Cing Upi (adik Buya) video call dan menanyakan kabarku serta kabar Buya. Aku memberikan kabar terkini Buya. Terlihat ada rasa yang sangat sedih dari raut muka Cing Upi setelah mengetahui kabar Buya. Kemudian Cing Upi langsung mengundang semua adik-adik Buya ke video call tersebut. Sambil menunggu kehadiran kakak-kakak, aku dan Buya ditemani oleh adik-adik Buya aku melalui video call dan mereka juga mendoakan untuk Buya. Kemudian video call ditutup karena aku diarahkan oleh adik-adik Buya untuk tetap terus menemani Buya, membantu talqin Buya, membacakan Yasin, mendoakan Buya, dan mencoba ikhlas dengan apa yang dan akan terjadi nanti. Tak lama usai video call, kakak-kakak dan adikku berangsur berdatangan. Pagi itu, fanafifzilghif (kelima anak buya) mendampingi hingga menjelang ashar. Ketika kami sedang mendampingi Buya, dr. Faizal (dokter spesialis Buya) visit.
"Waktu di UGD sudah dijelaskan kan ya terkait tidak masuk ICU dan tidak pasang ventilator?" tanya dr. Faizal
"Iya sudah dok", aku menimpali.
"Iya InsyaAllah apapun yang terjadi adalah yang terbaik untuk Pa Abdullah dan keluarga. Kita akan ikhtiar semaksimal mungkin, keluarga bantu dengan doa saja dan mulai mengikhlaskan bapak ya", ucap dr. Faizal sambil menguatkan anak-anak Buya.
"Ini bapak sudah tidak sadarkan diri dok?" tanya Bang Afif.
"Kondisi bapak saat ini statusnya sama dengan pasien-pasien di ICU. Namun karena kondisi kesehatan yang cukup parah, ICU dan ventilator bukan cara yang baik untuk dilakukan terhadap bapak", kata dr. Faizal. Kemudian dr. Faizal mohon izin pamit pergi.
Beberapa saat setelah dr. Faizal pergi, Ka Fadhi selaku anak sulung memimpin keempat adiknya untuk berdiskusi karena setelah kabar Buya koma, ada beberapa saran masuk dari adik-adik Buya maupun adik-adik Ummi. Diskusi pun berjalan. Selagi berdiskusi, kuteringat sewaktu Ummi dulu yang berada di ICU, Buya adalah pemimpin diskusi kami. Kini, hal itu kembali terjadi, namun Ka Fadhi yang memimpinnya. Ketika diskusi berlangsung, tangan Buya bergerak. Kita semua langsung bangun dan mendekat ke Buya, namun masih belum ada perubahan. Diskusi pun berlanjut. Usai berdiskusi, aku menyampaikan ketakutanku kemarin ke saudara-saudara laki-lakiku karena kemarin aku memang hanya bercerita ke Ka Nadia. "Zila takut bermalam di ruangan ini sendiri dengan kondisi Buya yang koma, posisi ruangan berada di ujung gedung, jauh dari meja suster, dan berjendela besar tanpa gordyn", ucapku. Tapi kebijakan rumah sakit kurang memungkinkan untuk aku ditemani atau aku bergantian dengan saudaraku yang lain. Akhirnya aku berusaha menguatkan diri untuk menghadapi semua yang ada di depanku dan meminta agar Ghifar pulang lebih akhir karena Ka Fadhi masih ada urusan bisnisnya, Ka Nadia tidak bisa meninggalkan bayinya dalam waktu lama, dan Bang Afif harus kembali melanjutkan safari dakwahnya. Menjelang ashar Ka Fadhi, Ka Nadia, dan Bang Afif pamit pulang.
Ketika sudah masuk waktu ashar, aku makan nasi yang dibekali oleh Ka Nadia. Saat itu aku baru sadar, ternyata sejak kemarin malam perutku belum terisi. Aku pun makan sambil ditemani Ghifar. Setelah makan, aku dan Ghifar hendak sholat ashar berjamaah. Sebelum sholat ashar dimulai, "Ghif ajak Buya sholat aja yuk. Gapapa kondisi Buya seperti ini, yang penting kita omongin aja ke kuping Buya", ucapku ke Ghifar. Ya, aku melakukan ini juga karena diajarkan Buya. Masih jelas di ingatanku, waktu Ummi tidak sadarkan diri di ICU, Buya memerintahkan untuk membisikkan ke telinga Ummi untuk menunaikan sholat.
"Kamu udah wudhu kan Ghif? Tolong tayamumin Buya ya. Ka Zila wudhu dulu", ucapku.
Ketika aku dan Ghifar sudah siap sholat dan Buya sudah ditayamum, "Buyaaa, sudah masuk waktu ashar ya Buy. Aku sama Ka Zila mau sholat berjamaah ya, Buya ikutin kita juga ya. Kita sholat bareng-bareng ya Buy", bisik Ghifar dan langsung membisikkan bacaan niat sholat ashar juga di telinga buya. Sholat ashar pun dimulai denga Ghifar sebagai imamnya. Ketika i'tidal rakaat keempat, Ghifar membaca qunut nazilah (doa qunut untuk meminta pertolongan kepada Allah agar musibah yang sedang menimpa kita segera berakhir). Ya, aku memang yang meminta Ghifar untuk menyelipkan qunut nazilah di sholat ashar kita. Aku sangat menikmati qunut itu dengan bacaan Ghifar yang begitu mahir berkat ajaran Buya. Terdengar suara Ghifar pun bergetar ketika melafalkannya. Ketika bacaan qunut sedang berlangsung, terdengar suara suster masuk ruangan. Ketika sholat ashar berakhir dengan salam, aku langsung bangkit dan menemui suster.
"Kaakkk, bapak tadi buka mata sebentaaar banget dan mengeluarkan air mata di penghujung sholat kakak dan masnya", kata suster.
"Iya sus?" tanyaku penuh semangat.
Suster menganggukkan kepalanya.
"MasyaAllah Buyaaa", ucapku memandang Ghifar sambil mengusap tubuh Buya.
Aku dan Ghifar pun lanjut memperhatikan suster yang sedang memeriksa tensi darah, suhu, infus, dan peralatan medis lain yang terpasang di tubuh Buya. Setelah selesai, suster pergi meninggalkan ruangan. Sambil menunggu waktu maghrib, aku dan Ghifar terus tilawah dan zikir di samping Buya. Maghrib pun tiba, kita menunaikan sholat maghrib dan mengajak Buya kembali. Usai sholat maghrib, kita zikir, berdoa, dan tilawah di samping Buya. Isya pun tiba, kita menunaikan sholat isya dan mengajak Buya kembali. Usai sholat isya, zikir, dan berdoa, Ghifar pamit pulang. Mulailah aku hanya berdua dengan Buya di ruangan itu. Pukul 21.00 WIB, Buya sadarkan diri dan membuka mata. Buya sadar, namun Buya tidak berbicara. Jadi hanya membuka mata dan memandang ke atas. Aku langsung video call ke fanafifghif dengan niat mengabari kondisi terkini Buya dan menemaniku yang ketakutan. Pada saat itu, aku terus mentalqinkan Buya dibantu oleh fanafifghif dari hp. Ternyata salah satu dari fanafifghif juga mengundang dua dari adik Buya. Karena aku kelelahan, aku meletakkan hp di meja dengan kondisi menyoroti aku dan Buya.
Mendekati waktu sepertiga malam terakhir, sekitar pukul 2 dini hari, Buya menggerakkan tangannya. Buya memanggil, "Zilaaa". Kujawab, "Iya Buyaaa?" Kemudian beliau menggerakkan tangan kanannya dan memegang pipiku. Tangan sebelah kirinya juga digerakkan dan mengusap kepalaku, namun tidak ada komunikasi lagi dari Buya. Lalu Buya kembali meletakkan kedua tangannya di atas kasur. Ketika pukul 3 dini hari, aku bertanya ke Buya, "Buyaaa, Buya mau sholat tahajjud?"
Buya pun mengangguk
"Yaudah Zila tayamumin yaaa"
Buya menganggukkan kepalanya lagi
Usai Buya tayamum, "Udah yah. Buya bisa dimulai sholat tahajjudnya". Buya pun menunaikan sholat tahajjud dengan isyarat mata. Setelah perkiraanku bahwa Buya telah selesai sholat tahajjudnya, aku izin ke Buya untuk menunaikan sholat tahajjud dan aku menitipkan Buya ke Ka Nadia yang ada di videocall. Setelah aku tahajjud, aku mengajak Buya untuk mengingat Allah selalu hingga adzan shubuh dikumandangkan. Pagi itu, berbagai macam zikir dan kegiatan baik dibabat habis oleh Buya. Sambil menunggu adzan shubuh, aku tuntun Buya untuk membaca Al-Ma'tsurat, surat Yasin, senandung doa Al-Qur'an, sholawat thibbil qulub, mahalul qiyam maulid adh-dhiyaa ulami, dan aku tuntun Buya untuk berdoa dengan mengingat amalan-amalan kebaikan Buya serta memohon kepadaNya agar itu menjadi wasilah Buya kuat dalam menghadapi ujian dari Allah. Selama melakukan itu, memang lebih banyak aku yang melafalkannya, tetapi aku yakin Buya mengikutinya dalam hati. Karena air matanya terus mengalir dari kedua matanya. Kedua tangannya pun beliau angkat sambil mengucapkan lafadz, "Aamiin Yaa Allah", meskipun tidak terlalu jelas. Aku pun juga mengeluarkan air mata karena benar-benar sangat memohon pertolongan Allah, aku sangat bersyukur memiliki orang tua seperti Buya dan Ummi. Aku bisa mahir mendampingi, karena didikan mereka juga. Ka Nadia pun mengikuti kegiatan-kegiatan bersama aku dan Buya.
Usai semua dilaksanakan, shubuh pun belum berkumandang. Akhirnya Ka Nadia mencoba invite Cing Pipit (salah satu adik Buya) ke video call. Ada rasa lebih lega yang terlihat dari raut wajah Cing Pipit melihat kakaknya sudah sadar dari koma. Cing Pipit bilang, "Kakak mau sholat shubuh ya kak? Makanya kakak bangun". Ka Nadia menanggapi Cing Pipit, "Alhamdulillah Buya tadi sholat tahajjud Cing". "MasyaAllah Alhamdulillah". Kemudian Cing Pipit menambahkankan lagi, "Kaakkk makasih ya kak udah jadi kakak terbaik". Tak lama, kemudian terdengar suara adzan yang bersumber dari Ka Nadia dan Ka Nadia langsung bilang, "Yah Buya adzan Buya. Itu suara Ajid (salah satu muadzin Al-Ikhwan) ya. Adzan ya dari Al-Ikhwan (salah satu masjid, dimana tempat Buya menjadi pengurus DKMnya)". Aku melihat mata Buya sangat berbinar dan bahagia. Kemudian aku meminta Ka Nadia untuk membawa HPnya keluar rumah agar suara adzan terdengar lebih jelas. Aku pun bilang ke Buya, "Buya alhamdulillah ya Yah kita sampai di waktu shubuh. MasyaAllah Buya bisa denger suara adzan dari Al-Ikhwan ya Buy. Al-Ikhwan yah, masjid tempat Buya jadi pengurus". Buya pun mengeluarkan air matanya lagi. Kemudian aku menuntun Buya untuk menjawab adzan. Usai adzan, aku menuntun Buya untuk membaca doa setelah adzan dan diiringi dengan doa untuk kebaikan Buya. Lalu aku bertanya, "Buya mau qobliyah shubuh?". Buya pun memberi isyarat, "Iya". Langsung aku tayamumin Buya dan Buya lanjut sholat qobliyah shubuh dengan isyarat mata. Setelah qobliyah shubuh, aku tayamumin Buya kembali untuk sholat shubuh. Buya pun sholat shubuh. Usai Buya sholat shubuh, aku menitipkan kembali Buya ke Ka Nadia yang ada di video call. Sementara Cing Pipit sudah pamit setelah adzan shubuh usai. Terlihat di video call, semua orang di rumah sudah bangun bahkan cucu-cucu Buya yang di rumah pun sudah bangun. Tak lama setelah aku selesai sholat shubuh, dokter dan perawat visit dan berbarengan dengan matinya video call Ka Nadia karena hp aku dan hp Buya lowbatt serta kuota internet habis.
Dokter dan perawat terlihat kaget karena Buya sadar. Mereka pun ikut berbahagia karena melihat Buya sadar. Kemudian dokter dan perawat memeriksa kondisi Buya.
"Pa Abdullah, selamat pagi", sapa dokter ke Buya.
"Bapak, nama bapak siapa?", tanya seorang bruder ke Buya.
"Abdullah", jawab Buya.
"Masih ingat dan bisa jawab ya kak", ucap bruder kepadaku.
"Tanggal lahir bapak kapan?" tanya bruder lagi.
"Lima belas bulan enam tahun lima empat".
"Wah benar", apresiasi bruder.
"Bapak, ini siapa Pak?", tanya dokter sambil menunjuk kepadaku.
Buya memandang wajahku lama dan kebingungan. Kemudian dokter mengusap punggungku dan bilang, "Sabar ya kak".
"Maksudnya apa ya dok?" tanyaku pada dokter.
"Memang proses penyakitnya bisa membuat kondisi pasien akan lupa ingatan sebagian memorinya", jelas dokter. Padahal saat itu, aku dalam kondisi membuka masker.
"Dalam waktu berapa lama dok? Selamanya kah?" tanyaku dengan nada kecewa.
"Kita tidak bisa memprediksi tapi mungkin saja nanti ingatannya akan kembali. Terus dampingi bapak ya kak", jawab dokter.
"Bapak boleh tolong angkat jempol tangan kanan?" seru bruder.
Buya mengangkat jempol tangan kanannya.
"Telunjuk tangan kanan?" ucap bruder lagi.
Buya mengangkat telunjuk tangan kanannya. Kemudian Buya melihatku dan berkata, "Saya punya anak empat dan adik tiga". Saat itu, hatiku menangis dan berusaha menenangkan diri seraya lanjut berkata, "Engga Buya, Buya punya anak lima. Adik Buya ada sepuluh, Buya anak pertama", aku mencoba meluruskan. Namun Buya mengulang penjelasannya kembali, "Saya punya anak empat, adik tiga".
"Oh yaudah Buya, boleh tolong sebut keempat anak Buya?"
"Pertama, Arief Fadhillah".
"Iya bener, kedua?"
"Titin Fathimah", seketika aku menangis mendengarnya karena Titin Fathimah itu bukan anak Buya tetapi adik Buya.
"Ok, ketiga?"
"Titin Fathimah".
"Keempat?"
"Titin Fathimah".
Aku menangis karena peristiwa ini. Sangat sedih melihat kondisi Buya. Sangat sedih Buya lupa denganku tapi memang ini skenario Allah. Seketika aku khawatir dengan kondisi Buya yang seperti ini dan mencoba mengabaikan kesedihanku yang lupa dengan aku sebagai anaknya.
"Buya, siapa tuhan Buya?"
"Allah", jawab Buya dengan cepat.
"Nabi Buya siapa?"
Buya berpikir dan akhirnya bisa menjawab, "Rasulullah Saw".
"Agama Buya apa?"
"Islam".
Aku ambil Al-Quran dan bertanya, "Buya ini apa?"
"Qur'an", jawab Buya
"Buya sholat sehari berapa kali?"
"Lima kali".
Alhamdulillah setidaknya aku lebih tenang karena Buya tidak melupakan hal-hal penting.
"Buya, sekarang Buya mau berdoa seperti tadi sepertiga malam lagi?"
Buya menganggukkan kepalanya kemudian mengangkat tangan. "Buya ikutin Zila ya", perintahku.
"Ya Allah", kataku
"Ya Allah", ikut Buya
"Abdullah lahir dalam keadaan Islam Ya Allah", kataku
"Abdullah lahir dalam keadaan Islam Ya Allah", ikut Buya
"Matikan Abdullah juga dalam keadaan Islam Ya Allah", ucapku
"Matikan Abdullah juga dalam keadaan Islam Ya Allah", ikut Buya
"Ya Allah", ucapku
"Ya Allah", ikut Buya
"Jadikan aku termasuk golongan", ucapku
"Jadikan aku termasuk golongan", ikut Buya
"Yang berhak menerima syafaat dari Rasulullah Ya Allah", ucapku
"Yang berhak menerima syafaat dari Rasulullah Ya Allah", ikut Buya
"Ya Allah", ucapku
"Ya Allah," ikut Buya
"Jadikan Quran penerang kuburku Ya Allah", ucapku
"Jadikan Quran penerang kuburku Ya Allah", ikut Buya
"Ya Allah", ucapku
"Ya Allah", ikut Buya
"Terimalah semua sholat dan amalku Ya Allah", ucapku
"Terimalah semua sholat dan amalku Ya Allah", ikut Buya
Aku tuntun Buya berdoa untuk kebaikan Buya, termasuk mohon ampun atas dosa. Setelah usai aku tuntun Buya mendoakan untuk dirinya sendiri, aku tuntun Buya mendoakan anak-anaknya.
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Arief Fadhillah Ya Allah"
"Arief Fadhillah Ya Allah"
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Nadia Ya Allah"
"Nadia Ya Allah"
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Afif Ya Allah"
"Afif Ya Allah", ucap Buya sedikit kesulitan mengucapkan Afif
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Manzila Ya Allah"
Buya lama tak ucap kata Manzila. "Manzila Ya Allah", ucapku lagi. Buya belum juga mengucap Manzila. "Manzila Ya Allah", ucapku lagi namun Buya belum juga mengucap Manzila. "Manzila Ya Allah", tangisku pecah saat itu juga namun Buya masih belum mengucap Manzila. "Yah..Buyaaa ini Manzila Buyaaa", kataku sambil memukul dada dan menangis. "Buya ini Manzilaaa", kataku menangis penuh harap Buya mengucap namaku dan mendoakan aku. Dokter mengusap punggungku, "Kak sabar ya, sudah jangan dipaksa, kasian bapak. Semoga bapak mendoakan kakak dalam hatinya". Aku sudah putus asa mengucapkan Manzila dan berniat lanjut mendoakan Ghifar. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan ucapan Buya, "Manzila Ya Allah. Berkahilah hidup Manzila Ya Allah. Manzila Ya Allah", diucapkan namaku berkali-kali. "Aamiin Yaa Allah", aku mengaminkan doa Buya untukku penuh rasa haru dan lega. "Aamiin Yaa Allah", Buya mengikuti. Kemudian dokter dan bruder pergi meninggalkan ruangan tanpa berpamitan.
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Ghifar Ya Allah"
"Ghifar Ya Allah"
Setelah mendoakan anak-anaknya, aku menuntun Buya untuk mendoakan adik-adiknya, "Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Abdurrahim Ya Allah"
"Saya Abdullah", ucap Buya. "Iya Buya Abdullah, Buya punya adik bernama Abdurrahim Yah". "Abdurrahim Ya Allah", ulangku. "Abdurrahim Ya Allah", sahut Buya
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Abdurrahman Ya Allah"
"Saya Abdullah", ucap Buya lagi. "Iya Buya Abdullah dan Buya juga punya adik bernama Abdurrahman". "Abdurrahman Ya Allah", ulangku. "Abdurrahman Ya Allah", sahut Buya
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Ahmad Fauzi Ya Allah"
"Ahmad Fauzi Ya Allah", sahut Buya sedikit kesulitan mengucapkan Ahmad Fauzi
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Titin Fathimah Ya Allah"
"Titin Fathimah Ya Allah"
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Muhaya Ya Allah"
"Muhaya Ya Allah"
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Ahmad Sidik Ya Allah"
"Ahmad Sidik Ya Allah"
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Sayangilah Nurhasanah Ya Allah"
"Sayangilah Nurhasanah Ya Allah"
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Zubaidah Ya Allah"
"Zubaidah Ya Allah", sahut Buya kesulitan mengucapkan Zubaidah
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup". Terus aku tuntun Buya mendoakan kesepuluh adiknya sampai selesai. Setelah itu, aku bertanya, "Buya siapa ibu Buya?" Buya kebingungan dan tidak bisa menjawab. Langsung saja, "Ya Allah" ucapku
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup Hj. Muniroh Ya Allah"
"Berkahilah hidup Hj. Muniroh Ya Allah"
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Sayangilah H. M. Nafis (Ayah Buya) Ya Allah"
"Sayangilah H. M. Nafis Ya Allah".
Tak lupa juga aku tuntun Buya mendoakan kedua mertuanya, Ummi (istri tercinta Buya), seluruh cucu Buya aku bantu sebut namanya satu per satu, tak lupa juga aku meminta dan menuntun Buya mendoakan anak-anaknya Manzila dan anak-anaknya Ghifar nanti, serta aku memohon doa dan ridho Buya agar aku dimudahkan tugas akhir/skripsi (aku tuntun Buya mendoakan skripsiku hingga Buya mengucapkan doa atas skripsiku sebanyak tiga kali). Saat itu karena kondisi hp aku lowbatt dan belum sempat mengisi daya kembali dan hp Buya juga tidak ada kuota maupun pulsa, sebenarnya aku sangat menunggu keluarga di rumah menelepon aku. Sambil menunggu ditelepon, aku ulang kembali doanya dari doa kebaikan untuk Buya sendiri sampai mendoakan orang lain juga. Doa yang sama itu terucapkan sebanyak tiga putaran. Sampai pada saat aku kelelahan dan tak tau lagi harus berdoa apa, aku dikejutkan dengan Buya berdoa sendiri tanpa aku tuntun. Beliau mendoakan orang-orang yang memang selalu beliau doakan setiap akan baca Yasin dan tahlil. Saat itu, keyakinan aku bertambah bahwa Buya memang orang baik dan sholih. Usai doa, aku bantu Buya mentalqinkan terus di telinga sebelah kanannya. Tak lama ada telepon masuk di hp Buya, ternyata itu telepon dari Ka Nadia.
Aku meninggalkan ruangan dan menerima telepon dari Ka Nadia. Memang aku tak pernah menerima telepon di samping Buya baik ketika Buya sadar ataupun tidak karena aku khawatir Buya mendengar penjelasan kondisinya ketika aku menjelaskan ke orang yang ada di telepon. Ya, aku khawatir kalau Buya mendengarnya akan membuat Buya tidak bersemangat. Aku menceritakan semua yang terjadi ke Ka Nadia dan Ka Nadia hanya bisa mengucapkan "innalillahi wa innailaihi rojiuun". Kemudian aku meminta Ka Nadia agar meminta Bang Afif datang ke rumah sakit dan telepon pun ditutup.
Aku kembali ke ruangan. Saat itu, aku tidak mengetahui apakah Buya sudah kembali ingat kepadaku atau tidak. Namun ketika aku masuk ruangan, Buya memberi isyarat kepadaku bahwa Buya merasa kesakitan di perutnya, dadanya, kakinya, dan badan bagian belakangnya. Aku pun langsung memencet bel untuk memanggil perawat. Perawat pun datang. Aku langsung memberi tahu kondisi Buya. Suster pun setelah mendengar penjelasanku keluar sebentar kemudian masuk ke ruangan kembali. "Kak ini obat cukup keras. Kita tau proses penyakit bapak, bahwa bapak nanti sakitnya akan hilang-timbul. Jadi setiap bapak kesakitan, kita akan suntikan sedikit-sedikit obat ini guna memberikan sugesti ke bapak bahwa sakitnya akan segera hilang karena sudah disuntikkan obat", jelas suster. Aku mempersilahkan tenaga medis untuk melakukan semua yang terbaik untuk Buya. Pagi itu, sambil kumenunggu kedatangan Bang Afif, Buya sudah disuntikkan sebanyak lima kali dengan obat itu. Aku pun membantu Buya dengan terus mengajaknya sabar dan dzikrullah
Bang Afif pun datang. Karena kemarin sudah diizinkan masuk sebanyak lima orang ke ruangan, pagi ini hanya diperbolehkan satu orang yang masuk. Oleh karena itu, aku keluar ruangan dan Bang Afif pun masuk. Karena aku kelelahan, aku mencari tempat duduk untuk aku beristirahat di sekitar kursi antrian pasien rawat jalan. Namun hari itu, kursi antrian pasien rawat jalan penuh dan hanya tersisa kursi yang bertanda silang merah. Terpaksa aku menunggu sampai Bang Afif keluar dengan kondisi berdiri dan bersandar pada dinding. "Satu jam saja ya Pak di dalam ruangannya", ujar security kepada Bang Afif.
Aku pun menunggu di luar selama satu jam lebih beberapa menit. Sambil menunggu, aku mendengar beberapa percakapan orang-orang yang menderita penyakit kanker. Mereka banyak macamnya. Ada yang bahagia menghadapinya dan ada juga yang insecure. Tempat ini memang sangat cocok dijadikan sebagai tempat belajar bersyukur untuk orang-orang yang tak pandai bersyukur seperti aku ini. Perlahan, aku pun mulai tidak sadar dan disadarkan kembali oleh seorang bapak yang memukul pundakku menggunakan map berkas BPJSnya, "Mbak duduk aja di sini. Sakit kanker apa Mbak?" tanya bapak itu.
"Oh gausah Pak. Saya sehat kok. Udah bapak aja yang duduk, ini saya kayaknya karena terlalu ngantuk aja Pak".
"Oh maaf, Mbak. Saya kira Mba sakit soalnya wajahnya kelihatan capek banget. Gapapa Mbak, duduk aja dulu. Saya sakitnya memang gabisa terlalu lama duduk"
"Terimakasih ya Pak", aku pun duduk.
"Siapa yang sakit Mba?" tanya bapak itu.
"Ayah saya Pak. Pasien rawat inap".
"Oh pantes sampai ketiduran sambil berdiri gitu. Mba yang jaga ya?"
"Hehe iya pak", jawabku sambil menahan malu karena ketahuan ketiduran sambil berdiri.
"Semoga lekas sembuh ya Mbak ayahnya", ucap beliau sembari pamit karena nomor antriannya sudah dipanggil.
Aku pun melanjutkan tidurku di kursi itu. Ketika security sedang tidak ada di daun pintu pembatas ruang rawat inap dan ruang rawat jalan, aku menerobos masuk ke ruangan Buya. Ketika aku masuk, Buya masih sering merintih kesakitan seperti sebelumnya. "Nih Zila makan", ujar Bang Afif sambil menunjuk bawaannya. "Bang Afif izin pulang ya. Bang Afif gabisa lama-lama karena harus ke markas MR (Majelis Rasulullah) tapi mau pulang dulu ke Duren Sawit, biasa Ka Ica (istri Bang Afif) lagi hamil lagi ada yang harus dibantu sama Bang Afif", ucap Bang Afif. Belum aku menanggapi omongan Bang Afif, tiba-tiba suster masuk dan bilang, "Kak tolong urus administrasi lagi ya. Kita mau pindahin bapak ke ruangan sebelumnya karena bapak sudah sadar".
"Oh pindah ruangan?"
"Iya. Tapi nanti kalau bapak ga sadar lagi, kemungkinan kita pindah lagi ke ruangan ini", jelas suster.
"Ok sus", kataku sambil menerima kertas yang diberikan oleh suster. Suster pun pergi. "Bang pulangnya tunggu Zila selesai urus administrasi dulu ya. Zila mau titip Buya dulu", Bang Afif pun mempersilahkan dan bersedia menunda beberapa menit kepulangannya.
Setelah administrasi selesai dan Bang Afif pulang, aku dibantu dua orang suster pindah ruangan. Setelah pindah ruangan, aku menunaikan sholat zuhur. Setelah itu, aku tayamumin Buya dan membacakan dari niat sholat zuhur hingga salam di telinga sebelah kanan Buya. Ya sejak Zuhur hari Rabu, Buya sudah tidak bisa sholat sendiri meskipun memakai isyarat. Oleh karena itu, harus aku bisikkan semua bacaan sholat ke telinga Buya. Ketika aku sedang membisikkan bacaan tahiyat akhir di dalam sholat zuhur Buya, dr. Faizal dan timnya (timnya terdiri dari beberapa dokter spesialis kanker juga) masuk ruangan. Aku langsung memberikan isyarat, "Tunggu sebentar, sedang sholat". Mereka pun menunggu sampai aku mengucap salam di telinga kanan Buya. Usai Buya sholat zuhur, mereka pun masuk dan langsung memeriksa kondisi Buya. "Dok, boleh minta tolong periksa mata orang tua saya?", pintaku. Alasan aku meminta dokter untuk memeriksa mata Buya adalah karena aku ingat dengan omongan Ka Fadhi, "Pokoknya Zila gini aja, kalau Zila masih melihat bayangan Zila di bola mata Buya, InsyaAllah Buya aman. Tapi kalau Zila sudah tidak melihat bayangan Zila di bola mata Buya, ya itu artinya sebuah "tanda"", begitulah pesan Ka Fadhi atas pengalamannya yang menyaksikan Ummi wafat. Ketika aku sholatkan zuhur Buya, aku sudah tidak bisa melihat bayangan aku di bola mata Buya. Oleh karena itu, aku meminta dokter untuk memeriksa kondisi matanya Buya dan dokter pun memenuhi permintaanku.
14 notes · View notes
zilamanzil · 6 years
Text
"Aku ingin dalam hidup ini berteman tak seperti biasanya".
Aku memang baru berusia 19 tahun. Tapi hal itu bukan membuatku bangga. Terutama dalam topik ini.
Sembilan belas tahun memang bukan waktu yang sedikit untuk Allah tetap mengizinkan jantungku berdetak dan nafasku berhembus. Bukan pula waktu yang sesaat untuk mata dan telingaku bisa memandang kebesaran ciptaanNya dan mendengar lantunan ayat-ayatNya. Bukan pula perjalanan hidup yang pendek untuk Buya dan Ummi meluapkan kasih sayangnya dalam membimbingku memaknai kehidupan.
Namun yang ada dalam pikirku kali ini, 19 tahun adalah waktu yang singkat. Mungkin karena aku belum mengerahkan seluruh daya dan upaya agar diriku banyak bermanfaat untuk orang-orang di sekitarku, hingga aku merasa ini berlalu begitu saja.
Duh, Allah...
Betapa banyak orang yang berkontribusi kebaikan pada hidupku, baik kebaikan kecil maupun kebaikan besar. Tapi, apa pernah ya aku menyebut semuanya tanpa terlewat satupun dalam lantunan doa-doaku?
Ya, tepat! Betapa banyak pula teman yang ikut berkontribusi mewarnai hari-hariku dengan canda tawa dan duka bersama. Setidaknya jika aku menghitung teman seangkatan, mulai TK ada lebih kurang 30 teman, SD 30 teman, SMP 113 teman itu baru akhwat, SMA 100 teman itu baru akhwat juga, teman seangkatan departemen lebih kurang 144 teman. Itu belum dikurangi teman yang meneruskan pendidikan yang sama denganku dan belum ditambah dengan sejumlah teman beda angkatan, teman rumah, teman organisasi, dll. Dan lagi-lagi, adakah saat aku sebut mereka tanpa terkecuali dalam lantunan doa-doaku?
Duhai Allah, betapa banyak kenikmatanMu. Merekalah wujud cintaMu padaku. Kini, terlintas dalam pikirku. Ukhuwah yang bagaimana yang selama ini kubangun bersama mereka?
Allah, izinkan lamunanku ini sebagai jalan untuk aku luruskan niatku kembali. Sekalipun aku tidak banyak tahu keadaan mereka. Namun, cukup Kaulah yang mengetahui apa-apa yang ada di depan, belakang, atas, bawah, sebelah kami. Dan cukup Kaulah pelindung dan pembela.
Allah, entah dimanapun mereka, izinkan kami tetap menjadi penumpang dalam kereta JannahMu. Ya, kereta yang melaju kencang tanpa pernah berhenti. Tanpa pernah berhenti dan peduli sekalipun terdapat penumpang yang tumbang dan tertinggal karena belum sanggup bertahan melawan angin nafsu selama kereta ini melaju.
Allah...di dunia ini tidak ada yang abadi. Jika dalam pandanganMu ukhuwah kami di dunia ini adalah karena alasan yang jelas fisiknya oleh kebanyakan orang, yang terdapat pertemanan dan persaudaraan hanya karena ada alokasi, waktu, dan keperluan. Maka, izinkanlah dengan hati kami yang bersatu karenaMu ini, kelak Kau panjangankan usia ukhuwah kami hingga Kau pertemukan kami kembali dalam lingkaran manisnya rahmatMu.
Logika serupa baja hati serupa sutra tak ada yang kekal di dunia
Tuk sekedar berucap pada kawan kala paradigma menguasai hati dan dada
Tenanglah...
Kepedulianku seperti kau kenal dulu...
Dan waktuku masih tersedia untuk suka dukamu
Bukankah Dia yang kekal
Yang menjadi alasan kita
Cukup
UKHUWAH KITA BUKAN SEPERTI BIASANYA
Tumblr media
0 notes
zilamanzil · 6 years
Video
undefined
tumblr
Ukhuwah tidak mengenal kesudahan… Mendampingi kalian dalam hidup sebagai saudara yang tolong-menolong dalam kebaikan… Menyapa kalian dalam kesendirian yang melelahkan dan menjaga kalian dalam keistiqomahan… Ukhuwah adalah persaudaraan yang kekal, yang tiada mengenal kejenuhan… Ukhuwah selalu punya sesuatu untuk dibagi, meskipun hanya sebuah nasihat atau sebait do’a yang tak nampak…
0 notes
zilamanzil · 6 years
Audio
Di dunia tidak ada surga, namun memiliki kalian sebagai saudara adalah sebagian dari surga, anugerah dari Allah telah kutemukan dengan kalian. Semoga Allah mencintai kalian karena kalian telah mencintaiku karena Allah
0 notes